AS Hentikan Visa Mahasiswa China, Khawatir Teknologi dan Rahasia Negara Tercuri

WASHINGTON DC, — Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa pihak berwenang akan memulai proses penarikan secara aktif visanya bagi para pelajar dari Cina.

Penarikan ini terutamanya diterapkan kepada individu-individu yang berhubungan dengan Partai Komunis China (PKC), atau tengah melanjutkan pendidikan dalam disiplin ilmu-ilmu sensitif seperti teknologi dan sains.

Akan tetapi, tindakan itu mungkin akan menggangu salah satu sumber pendapatan terpenting untuk institut-institut di Amerika Serikat, serta membatasi arus bakat global yang telah lama mendukung sektor teknologi dan penelitian di negeri tersebut.

Mahasiswa China dianggap ancaman

Rubio mengungkapkan bahwa Departemen Luar Negeri berkolaborasi dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk meningkatkan standar pengajuan visa serta mengevaluasi kembali seluruh aplikasi visa yang berasal dari China dan Hong Kong.

"Akan kami cabut secara agresif visa mahasiswa asal Tiongkok," ungkapnya melalui pernyataan resmi tersebut.

Pihak berwenang Amerika Serikat mulai resah karena mereka mengira Beijing sedang mengeksploitasi kerentanan dalam sistem pendidikan di negara tersebut untuk mencuri teknologi serta data rahasia.

Kejanggalan tersebut semakin ditegaskan dengan adanya lembaga seperti Institut Confucius, yang pernah disangka menjadi sarana propagandistis dan recrutment agen oleh pihak berwenang Tiongkok.

Tiongkok menyuarakan keberatan, masa depan pelajar dalam bahaya

Kedubes China untuk Washington belum menanggapinya terkait kebijakan tersebut.

Namun, Kementerian Luar Negeri China sebelumnya sudah mengumumkan niat mereka untuk "menjaga hak dan kepentingan resmi" para pelajar negara mereka yang berada di luar negeri.

Kebijakan tersebut juga mengikuti penarikan sementara izin Universitas Harvard dalam penerimaan mahasiswa internasional.

Berdasarkan informasi dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat, para pelajar internasional—di mana sebanyak 54% di antara mereka berasal dari China dan India—memberikan kontribusi melebihi 50 miliar dolar AS (setara dengan kurang lebih 815 triliun rupiah) terhadap ekonomi negara tersebut pada tahun 2023.

Akan tetapi, saat ini, jumlah mahasiswa asal Tiongkok di Amerika Serikat mengalami penurunan yang signifikan, turun dari kurang lebih 370.000 orang pada tahun 2019 hingga tinggal sekitar 277.000 jiwa pada tahun 2024. Di samping tensi politik antara kedua negara, wabah pandemi COVID-19 pun ikut mendorong laju pengurangan tersebut.

Efek jangka panjang terhadap bidang pendidikan dan inovasi di Amerika Serikat

Yaqiu Wang, seorang ahli hak asasi manusia dari China yang saat ini bertempat tinggal di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa walaupun pemerintahan Beijing benar-benar telah mengekploitasi kebebasan akademis di AS demi tujuan espionage dan pengambilan harta karun ilmiah, strategi semacam itu justru membawa kerugian besar.

"Larangan total dapat menyingkirkan hak-hak serta merenggangkan masa depan ribuan mahasiswa Tiongkok yang berhak, sekaligus memperlemah kedudukan Amerika Serikat sebagai penguasa dunia di bidang inovasi ilmiah," katanya.

Sejak awal kepresidenan Trump, administrasinya sudah mencoba untuk mengakhiri operasional Institut Confucius dan meningkatkan pengecekan terhadap akun media sosial pelajar internasional.

Saat ini, dengan adanya kebijakan terbaru tersebut, Amerika Serikat pun sudah mengakhiri seluruh permohonan visa untuk mahasiswa serta partisipan dalam program tukar-menukar internasional.

Komentar